Wakil Ketua Komisi I DPR RI Anton Sukartono Suratto, berharap TNI dapat memutus mata rantai kekerasan dan budaya superioritas senior terhadap junior di lingkup internal. Anton menegaskan, senior atau atas tidak berhak menggunakan kekerasan yang berlebihan kepada juniornya apalagi menghilangkan nyawa seseorang.
Hal tersebut disampaikan Anton menanggapi tewasnya Anggota TNI AD Batalyon Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Prada Lucky Cepril Saputra Namo diduga akibat dianiaya seniornya di dalam asrama.
“Perlu diingat bahwa doktrin komando memang menuntut kepatuhan, tetapi bukan berarti senior atau atasan dapat menghukum dengan menggunakan kekerasan yang berlebihan apalagi menghilangkan nyawa seseorang. Untuk mencegah kasus serupa TNI harus memutus mata rantai kekerasan dan budaya superioritas senior terhadap junior di lingkup internal,” kata Anton kepada awak media di Jakarta, Sabtu,(9/8/2025).
Lebih lanjut, Anton menyarankan, tiga hal yang bisa dilakukan TNI untuk memutus mata rantai kekerasan dan budaya superioritas senior terhadap junior di lingkup internal. Pertama, kata Anton, penguatan pola pengawasan internal dan hukuman yang tegas kepada pelaku tindakan kekerasan.
“Pengawasan ini juga bisa dilakukan terhadap komandan satuan prajurit. Jika ada kasus kekerasan serupa terjadi lagi, maka komandan satuan tersebut harus ikut bertanggung jawab dan mendapat sanksi,” imbuh Anton.
“Dengan memberikan hukuman tegas kepada pelaku dan komandannya secara pidana, diharapkan terdapat efek jera sehingga tidak terulang kembali,” tambah Anton.
Tak hanya itu, Anton mengungkapkan, hal kedua yang bisa dilakukan ialah melakukan
reformasi budaya militer. Menurut Anton, budaya kekerasan dan senioritas yang berlebihan di tubuh TNI harus dihilangkan.
“Pendekatan ini dapat dimulai dari pendidikan dasar militer, di mana prajurit baru harus diajarkan tentang pentingnya saling menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Kurikulum pendidikan militer harus direvisi untuk memasukkan modul-modul tentang anti-kekerasan dan resolusi konflik,” papar dia.
Sedangkan hal ketiga, tegas Anton, ialah pembentukan lembaga pengaduan independen. Namun, bagi Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Barat ini, usulan ini pembentukan lembaga pengaduan independen ini harus melalui kajian mendalam.
“Penting untuk menciptakan saluran pengaduan yang independen dan terpisah dari rantai komando. Lembaga ini dapat menerima laporan dari prajurit tanpa adanya rasa takut akan intimidasi atau sanksi. Mekanisme ini dapat membantu mendeteksi dan mencegah kasus-kasus kekerasan sejak dini,” beber Anton.
Anton pun menyampaikan duka cita mendalam dan rasa berbela sungkawa atas meninggalnya Prada Lucky Namo. Anton menyebut, kepergian Prada Lucky menambah daftar panjang prajurit muda yang gugur karena kekerasan dari rekan sendiri.
“Semoga pelaku penganiayaan Prada Lucky segera ditemukan dan diproses dengan seadil-adilnya. Polisi Militer TNI harus menginvestigasi kasus ini lebih lanjut mengenai duduk perkara serta memporses seluruh prajurit yang terlibat,” beber Anton.
Anton pun mengapresiasi respon Pangdam IX/Udayana yang telah memerintahkan untuk memproses dan menangkap siapa pun yang terbukti terlibat dalam aksi kekerasan kepada Prada Lucky.
Oleh sebab itu, Anton mendorong, TNI agar membuka seluas-seluasnya hasil investigasi terkait kekerasan senior terhadap junior ini. Hasil investigasi perlu diumumkan ke publik agar kepercayaan masyarakat kepada TNI tidak memudar.
“Jangan sampai ada pandangan di masyarakat bahwa TNI melindungi pelaku kekerasan akibat hasil investigasi yang tidak diumumkan. Semoga dengan investigasi yang terbuka dan hukuman yang tegas kepada pelaku, kekerasan senior kepada junior di tubuh TNI tidak terjadi lagi di masa mendatang,” pungkas Anton.
Laporan: Asrul Rizal
( sumber : kedaipena.com )