Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Pandjaitan, meminta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menetapkan narkotika sebagai bahaya laten nasional. Hal ini, menurutnya, merupakan langkah krusial dalam upaya perang total melawan narkoba yang hingga kini belum menunjukkan hasil signifikan.
Pernyataan itu disampaikan Hinca dalam diskusi Forum Legislasi bertema “Menimbang Revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, yang digelar oleh Koordinator Wartawan Parlemen (KWP) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/7/2025). Diskusi juga menghadirkan Direktur Hukum BNN Toton Rasyid dan pengamat narkotika Slanet Pribadi.
"Dalam memerangi narkoba, negara memerlukan komitmen politik yang kuat. Tanpa itu, pemberantasan narkoba hanya akan menjadi slogan kosong," ujar Hinca.
Ia mengungkapkan kekecewaannya atas mandeknya revisi UU Narkotika. Padahal, draf revisi telah dirampungkan di periode DPR sebelumnya dan tinggal menunggu harmonisasi antar kementerian.
“Bola sekarang ada di pemerintah. Komisi III sudah siap. Drafnya bahkan sudah disiapkan untuk disatukan dengan UU Psikotropika,” tegas legislator dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Hinca juga mengajak masyarakat dan media, khususnya wartawan parlemen, untuk mengangkat isu narkotika ke level politik nasional. Ia berharap Presiden terpilih Prabowo Subianto menyatakan secara tegas bahwa narkotika adalah bahaya laten nasional dalam pidato kenegaraan nanti.
“Jangan hanya pidato normatif. Harus ada sikap politik tertinggi. Dulu MPR bisa menetapkan komunisme sebagai bahaya laten, mengapa narkotika tidak?” kritiknya.
Lebih lanjut, Hinca mengkritik pendekatan hukum yang menyamakan pengguna narkoba dengan bandar. Menurutnya, pengguna seharusnya dianggap sebagai korban yang membutuhkan rehabilitasi, bukan dipidana.
“Pengguna itu sakit, bukan kriminal. Yang kriminal adalah bandar yang memperkaya diri dengan merusak orang lain,” tegasnya.
Ia juga menyoroti praktik pemeriksaan yang menyesatkan, di mana pengguna kerap dianggap “sehat” hanya karena menjawab demikian saat ditanya polisi, meskipun dalam kondisi kecanduan berat.
Selain aspek hukum, Hinca menilai pemerintah terlalu fokus pada seremonial dalam pemberantasan narkoba. Ia bahkan mengusulkan agar pada HUT ke-80 RI, Presiden Prabowo memberikan amnesti massal bagi pengguna narkoba sebagai bentuk koreksi terhadap kebijakan yang keliru.
Tak luput dari kritik, Kementerian Kesehatan dinilainya gagal dalam penelitian ganja medis yang dibutuhkan pasien seperti almarhumah Pika.
“Saya minta Menteri Kesehatan mundur. Negara gagal menyelamatkan Pika karena lamban meneliti ganja medis. Itu ketidakadilan nyata,” serunya.
Hinca juga menyoroti program “Desa Bersinar” (Bersih Narkoba) yang dianggap terlalu seremonial. Ia mengusulkan agar kepala desa diberdayakan sebagai agen intelijen BNN.
“Saya sudah mulai di Asahan, Sumut. Ada desa yang rutin memasang baliho ‘Usir Bandar Narkoba dari Kampung Kami’ dan keliling tiap Jumat. Ini aksi nyata, bukan simbolik,” ungkapnya.
Ia menyimpulkan, revisi UU Narkotika hanya akan efektif jika negara terlebih dahulu mengakui narkotika sebagai bahaya laten bangsa. Dengan pendekatan itu, seluruh kekuatan negara—politik, hukum, birokrasi, dan anggaran—dapat digerakkan untuk menyelamatkan generasi muda.
“Kalau ini berhasil, Indonesia akan jadi negara pertama di dunia yang menjadikan narkotika sebagai isu politik tertinggi, bukan sekadar persoalan hukum,” pungkasnya. (Dry)