fraksidemokrat.org, Jakarta - RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) terkesan diolah secara instan untuk menerobos sekat-sekat investasi yang dianggap sebagai penyebab utama pertumbuhan ekonomi stagnan sampai saat ini. Ini terjadi karena RUU Ciptaker digagas untuk mewujudkan janji Presiden Jokowi, yakni pertumbuhan ekonomi yang meroket.
Penilaian ini disampaikan Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI Irwan Fecho di Jakarta (18/2). ‘’Saya melihat bahwa Omnibus Law Ciptaker merupakan kompromi besar pemerintah demi mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sesuatu yang tidak dicapai oleh Jokowi sampai saat ini di tengah keberhasilan beliau pada sektor lainnya,’’ kata Irwan.
Dengan asumsi demikian, kata Irwan, semua yang menghambat akan dihilangkan. Bahkan jika itu dianggap merugikan kelompok tertentu, seperti buruh.
Terkait permasalahan buruh, UU ini menurutnya jelas akan menyengsarakan pekerja karena tidak sesuai dengan namanya cipta lapangan kerja. Yang terlihat malah membela investasi dan kepentingan pemodal.
‘’Upah minimum dan jaminan sosial bisa saja jadi hilang. Yang pasti UU ini tidak memanusiakan manusia. Buruh seperti romusa, kerja sepanjang waktu tanpa masa depan yang jelas,’’ ucap legislator asal Kalimantan Timur ini.
Irwan juga menyoroti masuknya dua pasal terkait Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam omnibus law RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan Presiden Joko Widodo ke DPR. Masuknya pasal 11 dan pasal 18 UU Pers ke dalam RUU Cipta Kerja mengancam kebebasan pers.
‘’Perubahan itu tentunya membonsai pertumbuhan usaha pers dan yang lebih bahaya lagi membunuh kebebasan pers dengan ancaman denda yang sangat besar. Padahal hak jawab sudah diatur dalam UU Pers,’’ katanya.
Dengan masuknya dua pasal itu ke RUU Ciptaker, pers dituntut sangat berhati-hati karena ke depan berbagai produk jurnalistik yang ditelurkannya akan gampang digugat dan jadi korban industri hukum karena denda yang tinggi.
Karenanya, menyarankan agar Presiden Jokowi memerintahkan jajarannya mencoret dua pasal tersebut di RUU Cipta Kerja. ‘’Saya pikir dua pasal UU Pers itu harus dihapus karena tidak punya urgensi untuk diubah. Jangan sampai kita kembali seperti zaman orde baru,’’ katanya.
Sebelumnya sejumlah organisasi pers seperti AJI, PWI hingga LBH Pers bereaksi dan protes atas masuknya dua pasal dalam UU Pers ke dalam draft RUU Cipta Kerja. Dua pasal itu mengatur tentang modal asing dan ketentuan pidana. Pasal 11 RUU Cipta Kerja menyebut, ‘’Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal’’.
Pasal 18 menyebutkan pemerintah menaikkan empat kali lipat denda atas ayat 1 dan ayat 2 dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Revisi ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar".
(mediafdp/ jpnn)