Terkait keinginan Presiden Jokowi untuk membawa Indonesia bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP), Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR RI dan Partai Demokrat mengingatkan agar Jokowi dan pemerintah menimbang setidkanya tiga hal. Yakni manfaat dan keuntungannya bagi Indonesia secara nyata, kesiapan Indonesia di berbagai aspek, serta perlunya meminta pandangan dari pelaku ekonomi dan masyarakat Indonesia umumnya. Mengingat keputusan keberadaan Indonesia dalam TPP akan berdampak luas dan panjang.
‘’Demokrat tidak alergi TPP. Tapi kita memberikan catatan penting dan mengingatkan Pemeirntah juga masyarakat bahwa di masa pemerintahan Pak SBY hal ini sudah dikalkulasi,’’ demikian dikatakan Ketua FPD Edhie Baskoro Yudhoyono (28/10/2015).
Dalam rilisnya, Partai Demokrat juga menyampaikan sikap yang didasarkan pada berbagai pertimbangan. Sebagaimana diberitakan media, Presiden Jokowi menyampaikan keinginan bergabung dengan TPP, atau pakta perdagangan bebas Trans Pasifik yang disampaikan kepada Presiden Barack Obamadalam pertemuan di ruang Oval, Gedung Putih, Washington D.C, Amerika Serikat.
‘’Indonesia menganut sistem perekonomian terbuka, dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa, kami adalah perekonomian terbesar di Asia Tenggara. Indonesia bermaksud ingin bergabung dengan TPP,’’ demikian dikatakan Jokowi sebagaimana dikutip berbagai media nasional dan internasional.
Menurut Ibas—sapaan Edhie Baskoro Yudhoyono—FPD dan Partai Demokrat melihat TPP (Trans-Pacific Partnership) pada prinsipnya baik. TPP dibentuk sebagai forum kerjasama ekonomi antara Amerika Serikat dan sejumlah Negara di benua Amerika dengan sejumlah Negara di Asia berdasarkan liberalisasi perdagangan dan investasi atau free trade and investment.
‘’Jika kerangka kerjasamanya tepat dan semua negara siap, TPP akan membawa keungungan bersama (mutual benefit).’’
Sebagai tambahan, disamping TPP ada juga kerangka kerjasama regional yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), kerjasama perdagangan bebas ASEAN—Tiongkok dll. Bahkan sekarang ini juga sedang dirundingkan kerjasama perdagangan dan investasi antara ASEAN dengan Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan (RCEP).
‘’Sekadar mengingatkan, pada masa pemerintahannya, Presiden SBY memang belum menyatakan setuju Indonesia langsung bergabung dengan TPP. Tapi bukan tanpa alasan atau asal tidak setuju. Sebaliknya, alasannya sangat kuat,’’ tutur Ibas.
Pertimbangan SBY saat itu, ‘’pertama, saat itu Indonesia tengah meningkatkan kesiapan untukemasuk ke MEA. Banyak hal yang harus dipersiapkan Indonesia agar MEA tidak merugikan Indonesia.’’
Kedua, Indonesia sedang giat meningkatkan kesiapan agar dalam kerjasama Tiongkok-ASEAN juga tidak merugi. Saat itu, Indonesia juga aktif menggodok kerjasama ekonomi ASEAN, Tiongkok, Jepang dan Korea.
Ketiga, Indonesia berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Vietnam yang ekonominya lebih berorientasi pada ekspor, karena pasar demostiknya tidak terlalu besar. Sementara pasar domestik kita justru makin kuat dan besar sehingga ekspor bukan andalan. ‘’Jika tidak siap, pasar domestik Indonesia bakal diserbu barang dan jasa negara lain.’’
Keempat, ketika diminta bergabung dalam TPP, Kepada Amerika Serikat dan negara-negara yang sudah bergabung, SBY menjawab bahwa intinya Indonesia masih menghitung secara seksama keuntungan nyata ketika bergabung dalam TPP. Dalam hal ini, termasuk menghitung kesiapan terutama dalam bidang ivestasi dan perdagangan. Saat semua siap, dan keuntungannya dinilai nyata, Indonesia Indonesia bisa dan akan bergabung dengan TPP.
Sikap SBY saat itu, adalah juga posisi dan pandangan FPD dan Partai Demokrat saat ini. ‘’Jadi, kami tidak alergi dengan TPP. Tapi kita harus melakukan kalkulasi dan memerisaka kesiapan kita sendiri sebelum memutuskan. Karena dampaknya juga bisa sangat krusial bagi Indonesia ke depan,’’ demikian ditegaskan Ibas.
Karena itulah sekali lagi, Demokrat mengingatkan Jokowi agar mempertimbangkan manfaat dan keuntungan bergabung dengan TPP, memastikan kesiapan Indonesia di berbagai aspek seperti kesiapan dunia usaha dan masyarakat, kesiapan kebijakan dan regulasi, dan juga infrastruktur dan konektivitas domestik kita sendiri. Dalam konteks ini pula dunia usaha dan komponen masyarakat sebaiknya diajak bicara.(***)